
Berantakan, mungkin itulah kata yang tepat untuk tim Ducati MotoGP. Sekali juara bersama Stoner, setelah itu abis. Padahal kalo dilihat dari motornya (Desmosedici), merupakan motor yang paling powerfull di MotoGP. Tidak diragukan lagi bahwa Ducati merupakan produsen mesin motor paling bertenaga di dunia. Bahkan sampai saat ini pun sebetulnya Desmosedici masih merupakan motor paling berlimpah horse powernya. Namun apa yang terjadi di sirkuit berkebalikan 180 derajat celcius ….
Awal munculnya kembali Ducati di MotoGP sudah langsung dibekali dengan mesin kuat, namun tanpa masukan dari pembalap “berkelas” ternyata tenaga kuat itu malah cenderung liar sehingga motor susah dikendalikan. Hanya Stoner yang mampu menjinakkan Ducati, dan sempat jadi juara Dunia bersama Ducati. Namun ternyata hal itu tidak berlangsung lama, manajemen Ducati dalam program pengembangannya memasukan agenda pergantian frame motor dari trelis (kayak frame-nya Honda CB150 yang baru aja diresmikan di indONEsia) ke Monocoque atau diistilahkan dengan frameless, karena seolah-olah tanpa frame (frame-mesin terintegrasi). Hal ini sebetulnya tidak disetujui oleh Stoner selaku pembalap “berkelas”-nya Ducati saat itu. Kepala divisi balap Ducati (Ducati Spa), bernama Preziosi, seolah-olah menutup kuping dari masukan-masukan yang berasal dari Stoner, padahal saat itu Stoner merupakan pembalap pengembang (pembalap yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan motor, hanya beberapa yang punya keahlian seperti ini)-nya Ducati.
Hasilnya bisa dilihat, prestasi Stoner turun drastis, sampai akhirnya beliau pilih hengkang dan balik lagi ke Honda. Walaupun di pernyataannya Stoner tidak pernah menyalahkan Preziosi, dia menyebutkan bahwa pihak Ducatilah yang tidak mau memenuhi keinginannya, bukannya Preziosi.
Musim berikutnya, didatangkanlah pembalap pengembang lainnya, Valentino Rossi. Rossi terbukti sakti mandraguna, di Honda dia juara berkali-kali, di Yamaha bahkan langsung juara di tahun pertamanya. Yamaha yang dipandang paling inferior dibandingkan Honda dan Ducati, bisa disulap jadi motor yang sangat nyaman, mudah diajak belak-belok, agility mantab (kemampuan untuk kembali ke posisi semula setelah dimiringkan pas belok, kalo gak salah :D), walaupun tenaga tidak sebesar Ducati dan top speed tidak sekencang Honda. Bisa dibilang Rossi dewanya lah untuk masalah pengembangan motor.
Namun apa yang terjadi, Rossi diperlakukan sama dengan Stoner di tahun pertama membalap untuk Ducati. Masukannya tidak banyak dipenuhi oleh Preziosi, manajemen Ducati tutup telinga rapat-rapat, pura-pura tuli. Hasilnya gagal total, lebih parah dari jaman Stoner. Baru di tahun kedua Rossi agak diberi kelonggaran, berbagai masukannya mulai didengar, termasuk untuk revolusi frame. Monoque (frameless) yang digadang-gadang merupakan terobosan teknologi canggihnya Ducati, diganti oleh Rossi dengan frame twinspar ala motor balap Jepang. Seolah-olah Rossi membuang inovasi teknologinya Ducati, namun hasilnya lumayan, sempat sekali naik podium. Tapi isunya masukan-masukan Rossi masih belum sepenuhnya dipenuhi, salah satunya adalah tentang pengurangan power motor, lha kepiye to, susah-susah bikin motor super kuat kok ini malah disuruh mengurangi, Rossi ini jian ra nggenah. Maksud Rossi sih agar si Duc bisa lebih mudah dikendalikan. Namun nasi dah jadi bubur, Rossi gak betah, dah ngomong sampai berbuih-buih, tetep aja manajemen budeg. Hengkanglah dia, kembali ke pelukan cinta sejatinya, Yamaha M1.
Setelah Ducati dibeli oleh Audi, divisi balapnya mengalami perombakan yang sangat signifikan. Si Preziosi diganti !!
Namun nampaknya sudah terlambat, Ducati tidak lagi memiliki pembalap pengembang, hasilnya sesi uji coba di Sepang kemarin cuman duduk di urutan 9, . Dovisioso masih belum mampu menaklukan Ducati, petaka masih berlanjut.Mungkin di dunia balap, masukan dari bawah lebih menentukan daripada best practise khayalan manajemen.sampai sini saja ya pembahasan kita.bye....